PROSEDUR PENERAPAN KEADILAN RESTORATIF DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DI KEJAKSAAN NEGERI GRESIK

Wisdom Leonarddin, Haekal (2028) PROSEDUR PENERAPAN KEADILAN RESTORATIF DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DI KEJAKSAAN NEGERI GRESIK. Project Report (Praktek Kerja Lapang dan Magang). Fakultas Hukum, Surabaya. (Submitted)

[img] Text
COVER LAPGANG HAEKAL.pdf

Download (1MB)
[img] Text
BAB 1 LAPGANG HAEKAL.pdf

Download (4MB)
[img] Text (Bab 2)
BAB 2 LAPGANG HAEKAL.pdf
Restricted to Repository staff only until 21 September 2028.

Download (3MB)
[img] Text (Bab 3)
BAB 3 LAPGANG HAEKAL.pdf
Restricted to Repository staff only until 21 September 2028.

Download (570kB)
[img] Text
DAFPUS LAPGANG HAEKAL.pdf

Download (318kB)
[img] Text
LAMPIRAN LAPGANG HAEKAL.pdf

Download (4MB)

Abstract

Keadilan Restoratif atau Restorative justice merupakan suatu pendekatan dengan mengutamakan pemulihan hubungan para pihak dalam upaya penyelesaian perkara tindak pidana diluar persidangan dengan prinsip utama meliputi partisipasi aktif korban, tersangka, dan masyarakat sebagai fokus utama dalam penyelesaian perkara. Dalam hal ini dilakukan dalam bentuk mediasi antara para pihak dengan tujuan akhir untuk mendorong restitusi bagi korban, kompensasi rehabilitasi terhadap kerugian akibat dari suatu perkara tindak pidana yang menghubungkan antara korban dengan Tersangka.1 Munculnya Keadilan Restoratif di Indonesia merupakan pembaharuan dari sistem peradilan pidana dengan konsep retributif (pembalasan), namun pada praktiknya Konsep Keadilan Restoratif di Indonesia sejatinya telah lama hidup dalam masyarakat, salah satunya tercermin melalui konsep hukum adat yang menitikberatkan pada proses musyawarah antara pelaku, korban, serta tokoh adat ketika terjadi pelanggaran di lingkungan adat. Dalam tradisi tersebut, pendekatan pidana formal atau pemidanaan sering kali menjadi opsi terakhir (ultimum remedium) dan baru ditempuh apabila penyelesaian secara adat tidak menghasilkan mufakat.2 Dalam konteks penyelesaian perkara secara adat, korban sering kali dilibatkan secara aktif untuk mediasi dengan pelaku guna pertanggung jawaban yang diharapkan dari pelaku.3 Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, institusi Kejaksaan dalam struktur ketatanegaraan Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang menjalankan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan kewenangan lain yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang- undangan. Dalam konteks sistem peradilan pidana, Kejaksaan berperan sebagai penuntut umum yang merepresentasikan kepentingan negara dan masyarakat dalam proses penegakan hukum. Fungsi representasi ini menjadikan Kejaksaan sebagai institusi utama yang mewakili negara di hadapan pengadilan dan bertanggung jawab atas implementasi norma-norma hukum yang berlaku. Kejaksaan memiliki tugas dan wewenang yang sangat penting dalam sistem peradilan pidana, mencakup tiga tugas utama yakni bidang pidana yang meliputi pelaksanaan penuntutan, bidang perdata dan tata usaha negara dengan kewenangan mewakili pemerintah dalam peradilan tata usaha negara, serta bidang ketertiban dan ketentraman umum4. Dalam era penegakan supremasi hukum dan perlindungan hak asasi manusia, peran Kejaksaan menjadi semakin vital dalam menjaga kepentingan umum dan memastikan keadilan dalam masyarakat. Implementasi fungsi Kejaksaan dalam mengatasi berbagai permasalahan hukum harus sejalan dengan amanat konstitusional yang tertuang dalam regulasi yang mengatur kelembagaan Kejaksaan.5 Tindak pidana penganiayaan memiliki berbagai macam yang diklasifikasikan berdasarkan unsur dalam perbuatannya. Secara umum, penganiayaan dibedakan menjadi 5 (lima) jenis, yaitu penganiayaan biasa, ringan, berencana, berat, penganiayaan berat disertai perencanaan, serta penganiayaan terhadap orang. Klasifikasi ini menunjukkan kompleksitas tindak penganiayaan yang tidak hanya bergantung pada akibat yang ditimbulkan, tetapi juga pada niat pelaku dan kondisi khusus yang menyertai perbuatan. Penganiayaan pada dasarnya merupakan suatu perbuatan yang dilakukan secara sadar dan bertujuan untuk menimbulkan penderitaan, baik dalam bentuk rasa sakit fisik maupun luka. Unsur kesengajaan menjadi komponen penting dalam menentukan keberadaan tindak pidana ini. Oleh karena itu, penganiayaan tidak hanya dilihat dari akibat fisik yang muncul, tetapi juga dari motif pelaku serta dilakukan dengan cara bagaimana tindak pidana tersebut dilakukan, yang dapat mempengaruhi tingkat berat ringannya pertanggungjawaban hukum pelaku. Tindak pidana penganiayaan telah diatur dalam Pasal 351 hingga Pasal 358 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Salah satu bentuknya, yaitu penganiayaan ringan, diatur secara spesifik dalam Pasal 351 ayat (1). Ketentuan tersebut menyebutkan bahwa penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau gangguan terhadap aktivitas pekerjaan maupun pencarian nafkah termasuk dalam kategori ringan, dengan ancaman pidana penjara maksimal tiga bulan atau denda hingga empat ribu lima ratus rupiah. Hukuman dapat diperberat apabila pelaku melakukan perbuatan tersebut terhadap bawahannya atau orang yang bekerja padanya. Penerapan keadilan restoratif dalam sistem hukum pidana Indonesia diatur dalam melalui Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dan Buku Pedoman Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum. Regulasi ini memberikan ruang kepada Jaksa untuk melakukan penghentian penuntutan demi kepentingan hukum, dengan tujuan penyelesaian perkara di luar pengadilan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 3 ayat (2) huruf e, dan ditegaskan lebih lanjut dalam ayat (4), bahwa apabila syarat tertentu terpenuhi, maka penghentian penuntutan dapat dilakukan secara sah melalui mekanisme Keadilan Restoratif. Salah satu pendekatan utama dalam pelaksanaan ini adalah pemulihan keadaan seperti semula serta keterlibatan aktif pelaku dan korban dalam proses penyelesaian. Penerapan mekanisme Keadilan Restoratif meliputi, antara lain: pelaku merupakan pelanggar hukum untuk pertama kalinya, tindak pidana yang dilakukan tidak diancam pidana penjara lebih dari lima tahun, dan nilai kerugian yang ditimbulkan tidak melebihi Rp2.500.000,00. Selain itu, ketentuan ini menyebutkan adanya kemungkinan pengecualian dalam kasus yang bersifat kasuistik dengan persetujuan pihak Kejaksaan.6 Penyelesaian secara Keadilan Restoratif juga mensyaratkan adanya pemulihan terhadap korban baik dalam bentuk pengembalian kerugian, perbaikan kerusakan, maupun perdamaian formal antara pelaku dan korban serta adanya respon positif dari masyarakat. Peraturan ini secara tegas mengecualikan penerapannya terhadap tindak pidana berat seperti kejahatan terhadap negara, kesusilaan, narkotika, lingkungan hidup, serta tindak pidana oleh korporasi. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Restorative justice tidak dimaksudkan untuk menangani kejahatan luar biasa, melainkan lebih relevan diterapkan dalam perkara-perkara dengan dampak hukum dan sosial yang lebih ringan.7 Mengacu pada latar belakang singkat yang terdapat diatas, Penulis tertarik untuk mengambil judul : “PROSEDUR PENERAPAN KEADILAN RESTORATIF DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DI KEJAKSAAN NEGERI GRESIK”

Item Type: Monograph (Project Report (Praktek Kerja Lapang dan Magang))
Contributors:
ContributionContributorsNIDN/NIDKEmail
Thesis advisorPala Suryana, EkaNIP. 19890602 202406 1 001email
Subjects: K Law > K Law (General)
Divisions: Faculty of Law
Depositing User: Haekal Wisdom Leonarddin
Date Deposited: 24 Sep 2025 08:31
Last Modified: 24 Sep 2025 08:31
URI: https://repository.upnjatim.ac.id/id/eprint/44463

Actions (login required)

View Item View Item